Penulis: Marah Rusli
Penerbit: Balai Pustaka
Tahun Pertama terbit: 1922
Jumlah Halaman: 291
Novel ini boleh jadi merupakan salah satu karya terbesar anak bangsa bahkan sampai saat ini. Harus diakui bahwa Marah Rusli telah menyusupkan karyanya bahkan ke dalam sistem budaya bangsa Indonesia. Anda tentu mengerti jika orang-orang berkata “Jangan seperti Sitti Nurbaya” atau “Aku bukan Sitti Nurbaya”. Tokoh Sitti Nurbaya juga kisahnya memang melekat erat dalam benak masyarakat Indonesia. Ia seolah menjadi simbol abadi kasih yang terpaksa, kasih yang tak sampai, kasih yang penuh pertentangan keluarga. Pernah membaca novel apik ini?
Patut disayangkan jika Anda belum pernah melahap abjad demi abjad dalam buku ini. Kisahnya klasik memang, tentang cinta remaja tokoh Sitti Nurbaya dengan seorang pemuda minang bernama Samsulbahri. Sitti Nurbaya sendiri merupakan anak dari seorang bangsawan Baginda Sulaiman sementara itu Samsulbahri adalah anak pembesar bernama Sutan Mahmud Syah. Mereka saling mencintai diam-diam. Pengakuan baru muncul saat Samsulbahri hendak pergi ke Batavia untuk menuntut ilmu. Mereka menghabiskan waktu lama berdua di perbukitan dan saat hendak berpisah Samsulbahri mencium Sitti Nurbaya di depan rumahnya. Hal ini tertangkap oleh ayah Sitti Nurbaya yang seketika berang. Demikian pula dengan masyarakat sekitar. Samsulbahri kemudian dikejar dan keluar dari Padang menuju Batavia.
Tokoh lainnya bernama Datuk Maringgih. Ia seorang yang terpandang di desanya. Bahkan merupakan saingan ayah Siti Nurbaya, Baginda Sulaiman. Datuk Maringgih menyimpan rasa dengki atas keberhasilan bisnis Ayah Sitti Nurbaya. Ia kemudian berbuat hal jahat menjatuhkan usaha Baginda Sulaiman dan membuatnya bangkrut tak berdaya. Tak berhenti sampai di situ, Datuk Maringgih juga membuat ayah Sitti Nurbaya berutang banyak padanya. Saat Datuk Maringgih datang memaksa keluarga Sitti Nurbaya membayar utang, ia kemudian menawarkan diri untuk menikah dengan sang Datuk asalkan semua utang ayahnya dianggap lunas tanpa sisa. Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya Datuk Maringgih menerima penawaran tersebut.
Sitti Nurbaya dan Datuk Maringgih akhirnya menikah jua, namun karena perlakuan sang suami yang dianggap kasar, akhirnya Sitti Nurbaya lari ke Batavia dan bertemu dengan Samsulbahri di sana. Mereka kembali jatuh cinta sampai suatu saat Siti Nurbaya menerima surat dari desa yang menyatakan bahwa ayahnya telah meninggal. Ia akhirnya kembali ke Padang dan meninggal di sana akibat keracunan kue yang diberikan oleh Datuk Maringgih. Samsulbahri sangat terpukul dan mencoba bunuh diri tetapi tak bisa. Pada akhirnya, di suatu kesempatan, ia berhasil membalaskan dendamnya.
Menurut bebrapa pengamat sastra, novel ini tidak menggunakan gaya penuturan Marah Rusli yang sebenarnya sebab pada jaman tersebut semua penulis yang bukunya hendak diterbitkan oleh Balai Pustaka harus mematuhi “gaya” yang telah mereka tetapkan. Meski demikian, pemilihan kata Marah Rusli dalam novel ini sangat memikat meski ia terkesan memilih bahasa yang aman. Dalam novel ini, ia juga banyak menggunakan pantun untuk menyampaikan persaan, salah satunya adalah:
Penerbit: Balai Pustaka
Tahun Pertama terbit: 1922
Jumlah Halaman: 291
Novel ini boleh jadi merupakan salah satu karya terbesar anak bangsa bahkan sampai saat ini. Harus diakui bahwa Marah Rusli telah menyusupkan karyanya bahkan ke dalam sistem budaya bangsa Indonesia. Anda tentu mengerti jika orang-orang berkata “Jangan seperti Sitti Nurbaya” atau “Aku bukan Sitti Nurbaya”. Tokoh Sitti Nurbaya juga kisahnya memang melekat erat dalam benak masyarakat Indonesia. Ia seolah menjadi simbol abadi kasih yang terpaksa, kasih yang tak sampai, kasih yang penuh pertentangan keluarga. Pernah membaca novel apik ini?
Patut disayangkan jika Anda belum pernah melahap abjad demi abjad dalam buku ini. Kisahnya klasik memang, tentang cinta remaja tokoh Sitti Nurbaya dengan seorang pemuda minang bernama Samsulbahri. Sitti Nurbaya sendiri merupakan anak dari seorang bangsawan Baginda Sulaiman sementara itu Samsulbahri adalah anak pembesar bernama Sutan Mahmud Syah. Mereka saling mencintai diam-diam. Pengakuan baru muncul saat Samsulbahri hendak pergi ke Batavia untuk menuntut ilmu. Mereka menghabiskan waktu lama berdua di perbukitan dan saat hendak berpisah Samsulbahri mencium Sitti Nurbaya di depan rumahnya. Hal ini tertangkap oleh ayah Sitti Nurbaya yang seketika berang. Demikian pula dengan masyarakat sekitar. Samsulbahri kemudian dikejar dan keluar dari Padang menuju Batavia.
Tokoh lainnya bernama Datuk Maringgih. Ia seorang yang terpandang di desanya. Bahkan merupakan saingan ayah Siti Nurbaya, Baginda Sulaiman. Datuk Maringgih menyimpan rasa dengki atas keberhasilan bisnis Ayah Sitti Nurbaya. Ia kemudian berbuat hal jahat menjatuhkan usaha Baginda Sulaiman dan membuatnya bangkrut tak berdaya. Tak berhenti sampai di situ, Datuk Maringgih juga membuat ayah Sitti Nurbaya berutang banyak padanya. Saat Datuk Maringgih datang memaksa keluarga Sitti Nurbaya membayar utang, ia kemudian menawarkan diri untuk menikah dengan sang Datuk asalkan semua utang ayahnya dianggap lunas tanpa sisa. Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya Datuk Maringgih menerima penawaran tersebut.
Sitti Nurbaya dan Datuk Maringgih akhirnya menikah jua, namun karena perlakuan sang suami yang dianggap kasar, akhirnya Sitti Nurbaya lari ke Batavia dan bertemu dengan Samsulbahri di sana. Mereka kembali jatuh cinta sampai suatu saat Siti Nurbaya menerima surat dari desa yang menyatakan bahwa ayahnya telah meninggal. Ia akhirnya kembali ke Padang dan meninggal di sana akibat keracunan kue yang diberikan oleh Datuk Maringgih. Samsulbahri sangat terpukul dan mencoba bunuh diri tetapi tak bisa. Pada akhirnya, di suatu kesempatan, ia berhasil membalaskan dendamnya.
Menurut bebrapa pengamat sastra, novel ini tidak menggunakan gaya penuturan Marah Rusli yang sebenarnya sebab pada jaman tersebut semua penulis yang bukunya hendak diterbitkan oleh Balai Pustaka harus mematuhi “gaya” yang telah mereka tetapkan. Meski demikian, pemilihan kata Marah Rusli dalam novel ini sangat memikat meski ia terkesan memilih bahasa yang aman. Dalam novel ini, ia juga banyak menggunakan pantun untuk menyampaikan persaan, salah satunya adalah:
“Padang Panjang dilingkari bukit,
bukit dilingkari kayu jati,
Kasih sayang bukan sedikit
dari mulut sampai ke hati”
Novel ini secara keseluruhan sangat cerdas. Ada pengaruh budaya Eropa di dalamnya yang memang kuat bercokol pada diri Marah Rusli, tetapi tidak mengurangi keluwesan dalam bercerita. Sinopsis Novel Sitti Nurbaya ini disusun agar Anda jatuh cinta dan mau membaca novelnya utuh. Selamat berburu novel ya!